Home

Friday, September 16, 2016

Disiplin Kerja

Sinungan (2005) disiplin adalah sikap kejiwaan dari seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti/mematuhi segala aturan/keputusan yang telah ditetapkan.

Simamora (2000) disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin merupakan bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesanggupan tim kerja dalam suatu organisasi.

Nitisemo (1996) bahwa kedisiplinan lebih tepat kalau diartikan suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak.

Hasibuan (2004) berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Menurut Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan dapat diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Terdapat beberapa tipe disiplin yang dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam pembinaan disiplin karyawan dalam organisasi (Martoyo, 2000) antara lain:
  1. disiplin preventif, yaitu kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendorong para karyawan agar menaati berbagai standar dan aturan perusahaan, sehingga dapat mencegah pengelewengan atau pelanggaran.
  2. disiplin korektif, yaitu kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang telah terjadi terhadap aturan-aturan, dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran yang lebih lanjut.

Newstrom dalam Asmiarsih (2006) menyatakan bahwa disiplin mempunyai 3 (tiga) macam bentuk, yaitu :
  1. Disiplin Preventif. Disiplin preventif adalah tindakan SDM agar terdorong untuk menaati standar atau peraturan. Tujuan pokoknya adalah mendorong SDM agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan atau pemaksaan, yang dapat mematikan prakarsa dan kreativitas serta partisipasi SDM.
  2. Disiplin Korektif. Disiplin korektif adalah tindakan dilakukan setelah terjadi pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksud untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut. Tindakan itu biasanya berupa hukuman tertentu yang biasa disebut sebagai tindakan disipliner, antara lain berupa peringatan, skors, pemecatan.
  3. Disiplin Progresif. Disiplin progresif adalah tindakan disipliner berulang kali berupa hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan perilaku jika dilihat dari definisi Lewin (dalam Helmi, 1996) adalah interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional.
  1. Faktor Kepribadian. Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi norma yang diajarkan atau ditanamkan orangtua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang dan sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku.
  2. Faktor lingkungan. Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar terus menerus. Proses dalam pembelajaran agar dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsistensi, adil, bersikap positif, dan terbuka. Konsistensi adalah memperlakukan aturan secara tepat dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang dipakai telah dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut.Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membedabedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan dibuktikan lebih dahulu. Selama fakta dan bukti belum ditemukan, tidak ada alasan bagi pemimpin untuk menerapkan tindakan disiplin.
Menurut Rivai (2004) terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja, yaitu:
  1. disiplin retributif (retributive discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah.
  2. disiplin korektif (corrective discipline),yaitu berusaha membantu karyawan mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat.
  3. perspektif hak-hak individu (individual rights perspective), yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
  4. perspektif utilitarian (utilitarian perspective) yaitu berfokuspada penggunaan disiplin hanya pada konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Menurut Helmi (1996) disiplin kerja dapat dibagi menjadi dua, yaitu disiplin diri dan disiplin kelompok.
1. Disiplin diri
Disiplin diri merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai-nilai luhur yang ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur diri sendiri untuk kepentingan organisasi. Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menunjang disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru ataupun masyarakat, merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya disiplin diri.

2. Disiplin kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individu semata. Selain disiplin diri masih dibutuhkan disiplin kelompok. Hal ini sangat didasarkan atas pandangan bahwa di dalam kelompok kerja terdapat standar ukuran prestasi yang telah ditentukan. Hal ini berarti setiap karyawan berusaha semaksimal mungkin memenuhi standar prestasi tersebut. Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika masing-masing anggota kelompok dapat memberikan andil sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Prinsip-prinsip pendisiplinan yang dikemukakan Ranupandojo dalam Asmiarsih (2006) adalah :
a. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi
Pendisiplinan seharusnya dilakukan dengan memberikan teguran kepada karyawan. Teguran jangan dilakukan di hadapan orang banyak. Karena dapat menyebabkan karyawan yang ditegur akan merasa malu dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa dendam yang dapat merugikan organisasi.

b. Pendisiplinan harus bersifat membangun.
Selain memberikan teguran dan menunjukkan kesalahan yang dilakukan karyawan, harus disertai dengan saran tentang bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.

c. Pendisiplinan harus dilakukan sacara langsung dengan segera.
Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa karyawan telah melakukan kesalahan. Jangan membiarkan masalah menjadi kadaluarsa sehingga terlupakan oleh karyawan yang bersangkutan

d. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.
Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secara adil tanpa pilih kasih. Siapapun yang telah melakukan kesalahan harus mendapat tindakan pendisiplinan secara adil tanpa membeda-bedakan.

e. Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu karyawan absen
Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang bersangkutan secara pribadi agar ia tahu telah melakukan kesalahan. Karena akan percuma pendisiplinan yang dilakukan tanpa adanya pihak yang bersangkutan.

f. Setelah pendisiplinan sikap dari pimpinan haruslah wajar kembali.
Sikap wajar hendaknya dilakukan pimpinan terhadap karyawan yang telah melakukan kesalahan tersebut. Dengan demikian, proses kerja dapat lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap.

Menurut Hasibuan (2005), pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi, di antaranya :
1. Tujuan dan kemampuan
Tujuan dan kemampuan ini mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan karyawan rendah. Disinilah letak pentingnya axas the right man in the right place and the right man in the right job.

2. Teladan pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinanan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin. Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik agar para bawahan pun mempunyai disiplin yang baik pula

3. Balas Jasa
Balas jasa atau gaji, kesejahteraan ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan. Jika kecintaan karyawan semakin tinggi terhadap pekerjaan kedisiplinan akan semakin baik. Untuk mewujudkan kedisiplinan karyawan yang baik perusahaan harus memberikan balas jasa yang relatif besar. Kedisiplinan karyawan tidak mungkin baik apabila balas jaasa yang mereka terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga. Jadi, balas jasa barperan penting untuk menciptakan kedisiplinan karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil kedisplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik.

4. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama ddengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar kebijakan dalam pemberian balas jasa atau hukuman akan tercipta kedisiplinan yang baik. Manajer yang baik dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap semua karyawan. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula.

5. Waskat (pengawasan melekat)
Waskat adalah tindakan nyata paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengatasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya.

6. Sanksi hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan. Berat atau ringan sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan.

7. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan, pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk memberikan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Dengan demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan perusahaan.

8. Hubungan kemanusiaan
Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi baik diantara semua karyawan. Kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik.

Konformitas

Baron & Byrne (2002) mendefinisikan konformitas sebagai suatu perubahan sikap dan tingkah dari seorang individu akibat adanya pengaruh sosial agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Santrock (2007) menambahkan bahwa konformitas terjadi saat individu mengadopsi sikap dan tingkah laku orang lain karena merasa adanya desakkan oleh orang lain yang dirasakan oleh individu secara nyata atau hanya bayangan saja, dan desakan ini cenderung sangat kuat selama masa remaja.

Myers (2012), merupakan suatu perubahan perilaku serta kepercayaan atau belief yang disebabkan oleh adanya tekanan kelompok yang dirasakan secara nyata atau hanya sebagai suatu imajinasi dari individu tersebut.

Ada dua jenis konformitas (Sarwono, 2001):
  1. Menurut (compliance) Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Misalnya, turis asing memakai selendang dipinggangnya agar dapat masuk ke pura di Bali, menyantap makanan yang disuguhkan nyonya rumah walaupun tidak suka, memeluk cium rekan arab walaupun merasa risih. Kalau perilaku menurut ini adalah terhadap suatu perintah, namanya adalah ketaatan (obedience), misalnya anggota tentara yang menembak musuh atas perintah komandannya, dan mahasiswa baru memakai baju compang camping dalam acara perpeloncoaan atas perintah seniornya.
  2. Penerimaan (accept) Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan social. Misalnya, berganti agama sesuai dengan keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau Negara dimana ia ditugaskan atau tinggal, memenuhi ajakan teman-teman untuk membolos.
Berikut adalah faktor-faktor yang tampak paling penting mempengaruhi konformitas (Baron dan Byrne, 2005):
1. Kohesivitas.
Dapat didefenisikan bahwa kohesivitas (cohesiveness) adalah tingkat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika individu memiliki ketertarikan yang besar terhadap suatu kelompok maka ia memiliki kohesivitas tinggi. Tingginya rasa suka dan kagum kepada kelompok orang-orang tertentu akan menimbulkan tekanan untuk melakukan konformitas semakin kuat. Sebagai contoh saat kita berada dalam sebuah pertunjukan musik, ada sekelompok anak muda yang berdandan nyentrik dengan rambut mohawk dan tattoo di tubuhnya, memakai tindik dilidah, jacket berbahan Levi’s dengan tempelan-tempelan emblem, menarik perhatian kita dan menganggap bahwa dandanannya keren, orang-orang yang berpenampilan seperti itu ternyata salah satu band pengisi dalam acara tersebut maka kita tertarik untuk menjadi bagian dari kelompok itu. Salah satu cara untuk diterima oleh orang-orang tersebut adalah dengan menjadi seperti mereka dalam berbagai hal. Begitupun sebaliknya, ketika kohesivitas rendah tekanan terhadap konformitas juga rendah. Misalnya, buat apa kita mengubah cara berpakaian dan bertingkah laku untuk menjadi sama dengan orang-orang yang tidak kita sukai atau kagumi. Sehingga derajat ketertarikan seseorang terhadap suatu kelompok tertentu merupakan suatu penentu yang penting mengenai sejauh mana kita akan menuruti bentuk-bentuk tekanan social.

2. Ukuran Kelompok.
Semakin banyak anggota yang tergabung dalam kelompok akan menambah kuat seseorang untuk melakukan konformitas. Dalam buku psikologi sosial Baron dan Byrne (2005)dijelaskan bahwa dari penelitian terkini Bond dan Smith menemukan konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota tambahan atau lebih. Jadi jelas bahwa semakin besar kelompok tersebut maka semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita lakukan.

3. Norma Sosial Deskriptif Dan Norma Sosial Injungtif.
Norma social dalam masyarakat tidak hanya terbagi atas sifatnya yakni formal dan informal saja, tetapi ada perbedaan penting lainnya yaitu antara norma deskriptif /himbauan (descriptive norms) dan norma injungtif/perintah (injunctive norms). Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut. Sebaliknya, norma injungtif menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu. Pada situasi tertentu dimana tingkah laku anti social (tingkah laku yang tidak diterima oleh suatu kelompok atau masyarakat tertentu) cenderung muncul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal itu disebabkan karena dua hal. Pertama, norma semacam itu cenderung mengalihkan perhatian dari bagaimana orang-orang bertindak pada suatu situasi tertentu (misalnya, membuang sampah sembarangan) kepada bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku (misalnya, membuang sampah pada tempatnya). Kedua, norma semacam itu dapat mengaktifkan motif social untuk melakukan hal yang benar dalam situasi tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan.

Motif yang mendasari mengapa seseorang selalu ingin melakukan konformitas adalah sebagai berikut (Baron dan Byrne, 2005):
  1. Pengaruh sosial normatif (normative social influence) adalah pengaruh social yang meliputi perubahan tingkah laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Kita merasa senang ketika mendapat pujian dan disukai oleh orang lain karena bertindak sesuai keinginan mereka. Rasa takut akan penolakan karena bisa berdampak pada sanksi ejekan dan cacian dari orang terdekat lalu keinginan kita untuk disenangi dan diterima oleh orang lain akan meningkatkan konformitas kita.
  2. Pengaruh sosial informasional (Informational social influence) adalah kecenderungan kita untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai informasi dunia sosial. Dorongan semakin kuat untuk melakukan konformitas mana kala kita selalu ingin tampak benar didepan orang lain, namun hal ini terutama terjadi pada saat kita merasa tidak yakin mengenai mana yang benar atau tepat dalam situasi tertentu.
  3. Konsekuensi kognetif dari mengikuti kelompok adalah mengubah persepsi pada situasi tertentu sehingga mengikuti persepsi kelompok dan menganggap bahwa ia salah dan anggota kelompok yang lain benar. Dalam kondisi ini ia menilai bahwa konformitas tampak sungguh-sungguh dapat dibenarkan

Perilaku Konsumtif

Tambunan (2001) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal.

Menurut Lubis (dalam Sumartono, 2002) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi.

Ancok (1995) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif seseorang ialah perilaku yang tidak lagi membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, tetapi membeli barang hanya sematamata untuk membeli dan mencoba produk, walau sebenarnya tidak memerlukan produk tersebut.

Menurut Lina & Rosyid (1997) aspek-aspek perilaku konsumtif adalah:
a. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying). Aspek ini menunjukkan bahwa seorang remaja berperilaku membeli semata-mata karena didasari oleh hasrat yang tiba-tiba/keinginan sesaat, dilakukan tanpa terlebih dahulu memepertimbangkannya, tidak memikirkan apa yang akan terjadi kemudian dan biasanya bersifat emosional.

Menurut Kharis (2011) menyebutkan bahwa impulsive buying atau biasa disebut juga unplanned purchase, adalah perilaku orang dimana orang tersebut tidak merencanakan sesuatu dalam berbelanja. Menurut Rook dalam Kharis (2011) impulsive buying adalah pembelian yang terjadi ketika konsumen mengalami desakan tibatiba, yang biasanya sangat kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera.Dorongan pembelian adalah sifat foya-foya dan dapat merangsang konflik emosional, sehingga impulsive buying mudah terjadi karena adanya keinginan konsumen yang berubah-ubah.

Impulsive buying memiliki beberapa karakteristik: 
  1. Spontanitas.
  2. Kekuatan, kompulsi, intensitas.
  3. Kegairahan dan stimulasi.
  4. Ketidakpedulian akan akibat.

b. Pemborosan Perilaku konsumtif sebagai salah satu perilaku yang menghamburhamburkan banyak dana tanpa disadari adanya kebutuhan yang jelas. Boros adalah membelanjakan sesuatu tidak pada tempatnya ataupun melebihi ukuran yang semestinya. Contohnya: berbelanja pakaian yang dibutuhkan untuk kepentingan kerja, sekolah atau acara resmi tidak dikatakan boros namun jika membeli melebihi batas missal butuh pakaian hanya satu namun membeli tiga hal inilah yang dikatakan boros.

c. Mencari kesenangan (Non rational buying) Suatu perilaku dimana konsumen membeli sesuatu yang dilakukan semata-mata untuk mencari kesenangan. Salah satu yang dicari adalah kenyamanan fisik dimana para remaja dalam hal ini dilator belakangi oleh sifat remaja yang akan merasa senang dan nyaman ketika dia memakai barang yang dapat membuatnya lain daripada yang lain dan membuatnya merasa trendy.

Faktor yang mempengaruhi perilaku membeli menurut Kotler(dalam Suhari, 2008) terdiri dari:
  1. Kebudayaan yang terdiri dari : budaya, sub budaya dan kelas sosial.
  2. Sosial yang terdiri dari: kelompok acuan, keluarga, peran dan status.
  3. Personal yang terdiri dari: usia dan siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, dan konsep diri.
  4. Psikologi yang terdiri dari: motivasi, persepsi, proses belajar, proses belajar, kepercayaan dan sikap.

Kondisi Kerja

Kondisi kerja adalah merupakan kondisi yang dapat dipersiapkan oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan pada pabrik yang didirikan oleh perusahaan tersebut ( Ahyari,1994).

Menurut Newstrom (2006) Work condition relates to the scheduling of work-the length of work days and the time of day (or night) during which people work yang kurang lebih berarti bahwa kondisi kerja berhubungan dengan penjadwalan dari pekerjaan, lamanya bekerja dalam hari dan dalam waktu sehari atau malam selama orang-orang bekerja.

Menurut Munandar (2006), kondisi kerja meliputi variabel lingkungan fisik kerja dan kodisi lama waktu kerja. Dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel tadi dapat memengaruhi sikap dan prilaku pekerja faktor-faktor yang perlu di pertimbangkan dalam kondisi kerja yang sesuai dengan situasi organisasi tertentu termasuk bagaimana biasanya pekerjaan dilakukan, karakteristik tenaga kerja yang terlibat dan aturan standar ektenal yang sesuai.

Komarudin, (2001) bahwa kondisi kerja atau yang sering disebut sebagai lingkungan kerja adalah kehidupan sosial psikologi dan fisik dalam organisasi yang berpengaruh terhadap pekerjaan karyawan dalam melaksanakan tugasnya.

Mangkunegara, (2005: 105) mengungkapkan bahwa kondisi kerja atau lingkungan kerja ialah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja dan peraturan kerja yang dapat memengaruhi kepuasan kerja dan pencapaian produktivitas kerja.

Indikator-indikator kondisi kerja fisik meliputi penerangan, suhu udara, suara bising, penggunaan warna, ruang gerak yang diperlukan, dan keamanan kerja (Ahyari,1994).
  1. Penerangan. Penerangan yang ada harus sesuai dengan kebutuhan, tidak terlalu terang, tetapi juga tidak terlalu gelap. Dengan sistem penerangan yang baik, diharapkan karyawan akan menjalankan tugasnya dengan lebih teliti, sehingga kesalahan karyawan dalam bekerja dapat diperkecil, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.
  2. Suhu udara. Temperatur udara atau suhu udara pada ruang kerja karyawan akan ikut mempengaruhi kinerja para karyawan yang bersangkutan. Suhu udara terlalu panas bagi karyawan akan dapat menjadi penyebab turunnya kepuasan kerja para karyawan sehingga akan menimbulkan kesalahankesalahan pelaksanaan proses produksi. Untuk menciptakan kondisi ruang kerja dengan pertukaran udara yang baik, dilakukan dengan memasang ventilasi. Disamping itu perlu diperhatikan pula perbandingan antara luas suatu ruang kerja dengan jumlah karyawan yang bekerja dalam ruangan tersebut. Bila perlu dapat pula dipasang alat pendingin ruangan yang dapat membantu menciptakan kondisi udara yang sejuk dan nyaman. Bila perasaan nyaman dan segar dapat tercipta, maka karyawan akan merasakan kepuasan kerja, sehingga dapat meningkatkan kinerja mereka.
  3. Suara bising. Dalam bekerja, karyawan memerlukan suasana yang dapat mendukung konsentrasi dalam bekerja. Suara bising yang bersumber baik dari mesin-mesin pabrik maupun dari kendaraan umum akan dapat mengganggu konsentrasi karyawan dalam bekerja. Dengan konsentrasi yang terganggu, seorang karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, sehingga akan banyak melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, yang pada akhirnya akan merugikan perusahaan.
  4. Penggunaan warna. Masalah penggunaan warna di dalam ruang kerja para karyawan perusahaan pada umumnya belum mendapat perhatian dengan semestinya oleh manajemen perusahaan. Sebenarnya penggunaan warna dalam ruang kerja, akan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap kinerja karyawan perusahaan. Pemilihan warna yang cerah belum tentu akan dapat mendorong produktivitas karyawan. Demikian pula pemilihan warna yang gelap juga belum tentu menurunkan produktivitas kerja karyawan. Pada dasarnya pemilihan warna yang dilaksanakan oleh manajemen perusahaan bertujuan untuk dapat lebih memperjelas pengamatan para karyawan perusahaan tersebut kepada obyek pekerjaannya.
  5. Ruang gerak yang diperlukan. Manajemen perusahaan perlu untuk memperhatikan ruang gerak yang memadai dalam perusahaan, agar karyawan dapat leluasa bergerak dengan baik. Terlalu sempitnya ruang gerak yang tersedia akan mengakibatkan karyawan tidak dapat bekerja dengan baik. Namun demikian, ruang gerak yang terlalu besar akan menimbulkan pemborosan ruangan perusahaan. Oleh karena itu manajemen perusahaan tentunya harus dapat menyusun perencanaan yang tepat untuk ruang gerak dari masing-masing karyawan. Dengan adanya perencanaan yang tepat dari ruang gerak yang diperlukan oleh karyawan, maka pelaksanaan produksi akan berjalan dengan baik, serta perusahaan tidak akan menanggung akibat terjadinya pemborosan di dalam ruang gerak.
  6. Keamanan kerja. Keamanan kerja bagi karyawan merupakan faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Kondisi kerja yang aman akan membuat karyawan tenang dalam bekerja, sehingga berdampak pada meningkatnya produktivitas perusahaan. Keamanan kerja yang baik tidak hanya keamanan fisik karyawan, tetapi juga keamanan barang-barang pribadi karyawan. Dengan sistem keamanan yang baik, diharapkan karyawan akan tenang dalam bekerja, sehingga akan meningkatkan kinerja mereka.
Sedarmayanti, (2001) bahwa kondisi lingkungan kerja secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kondisi Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik ialah semua keadaan yang berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat memengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Sedarmayanti, 2001).
Lingkungan kerja fisik ini dibagi menjadi dua, antara lain:
  1. Lingkungan yang berhubungan secara langsung dengan karyawan. Misalnya: meja, kursi.
  2. Lingkungan perantara yang dapat memengaruhi kondisi karyawan. Misalnya: sirkulasi udara, bau tidak sedap.
b. Kondisi Lingkungan Kerja Non-Fisik
Lingkungan kerja non-fisik merupakan seluruh kondisi yang terjadi dan berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan dengan sesama rekan kerja, atau hubungan dengan bawahan (Sedarmayanti, 2001).

Thursday, September 15, 2016

Stress Kerja

Robbin (2001) mendefinisikan stress sebagai kondisi dinamis dimana individu dihadapkan pada kesempatan, batasan, dan tuntutan yang berhubungan dengan apa yang dia inginkan, dan hasil dari keinginan tersebut menjadi tidak pasti dan penting.

Kreitner dan Kinicki (2001) mendefinisikan stress sebagai suatu reaksi adaptif tubuh yang dimediasi oleh karakteristik-karakteristik individual dan atau proses-proses psikologis sebagai akibat dari beberapa tindakan, situasi dan kejadian luar biasa yang membutuhkan tuntutan-tuntutan fisik dan atau psikologis khusus pada seseorang.

Wagner dan Hollenbeck (1995) menyatakan stress merupakan keadaan emosional yang tidak menyenangkan sebagai akibat ketika seseorang merasa tidak pasti atas kemampuannya untuk mengatasi tantangan yang diterima sebagai suatu nilai yang penting.

Hariandja (2002) mendefinisikan stres sebagai situasi ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang.

Sumber potensial stress kerja (job stressor) merupakan faktor-faktor yang dapat memicu munculnya stress. Menurut Robbin (2001), terdapat tiga stressor yang mengancam individu dan dapat digolongkan kedalam :
  1. Faktor lingkungan, seperti ketidakpastian ekonomi, politik dan keamanan, perubahan teknologi yang terlalu cepat.
  2. Faktor organisasional, seperti politik dan budaya organisasi, konflik peran dan ambiguitas peran, kepemimpinan, lingkungan fisik organisasi.
  3. Faktor individual, seperti persoalan keluarga, masalah keuangan, dan faktor kepribadian.
Sarafino (Smet, 1994) mengatakan bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh :
  1. Lingkungan fisik yang terlalu menekan, seperti kebisingan, temperatur atau panas yang terlalu tinggi, udara yang lembab, dan penerangan di kantor yang kurang.
  2. Kurangnya kontrol yang dirasakan.
  3. Kurangnya hubungan interpersonal
  4. Kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja. Para pekerja akan merasa stres bila mereka tidak mendapatkan promosi yang selayaknya mereka terima.
Secara umum stres kerja memiliki dampak yang merugikan baik bagi individu maupun bagi perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Dampak yang dihasilkanpun sesuai dengan tingkatan dan jenis stres yang dialami oleh karyawan. Tingkatan stres ada bermacam-macam, dan oleh Brealey (2002) dibagi dalam empat tingkatan yaitu sebagai berikut :
  1. Stres yang terlalu rendah : kurangnya tantangan akan menimbulkan kebosanan, produktifitas rendah dan kurangnya prestasi pribadi. Hal ini akhirnya akan berkontribusi pada kepercayaan diri yang rendah, dan kurangnya tujuan hidup.
  2. Stres yang optimal : jumlah stres yang tepat dalam hidup akan memampukan seseorang untuk memanfaatkan peluang, bangkit untuk menghadapi tantangan, dan memperluas batasan seseorang. Seseorang akan memutuskan untuk menghadapi berbagai masalah dalam langkah-langkahnya dan memperoleh kepuasan dari sebuah pekerjaan atau dari pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik.
  3. Terlalu banyak stres : selain kelelahan mental dan fisik, individu akan mendorong dirinya sendiri untuk terus bekerja, tapi dengan mengurangi imbalannya. Dengan mendorong diri sendiri secara terus-menerus sampai melewati batas, akan membuatnya terus menambah kecepatan dan akhirnya menyadari bahwa tidak dapat berhenti dan rileks.
  4. Kelelahan : tanda-tanda peringatan yang menyatakan bahwa kita berada dibawah stres yang berlebihan, apabila kita tidak mengindahkannya, maka kita sangat berpeluang untuk jatuh sakit, baik secara mental maupun fisik. Yang terbaik adalah kinerja yang berubah-ubah.
Childre (2001) mengemukakan metode yang dapat digunakan untuk mengelola stres, yaitu metode freeze-frame yang mempunyai lima langkah sebagai berikut :
  1. Kenali perasaan penuh tekanan,
  2. Buatlah usaha nyata untuk mengalihkan fokus dari pikiran-pikiran yang berpacu atau emosi yang terganggu ke daerah-daerah disekitar jantung,
  3. Ingatlah selalu suatu persoalan yang positif dan menyenangkan atau saat-saat dalam hidup yang membangkitkan perasaan positif serta berusahalah untuk mengulanginya lagi,
  4. Menggunakan intuisi, pikiran yang sehat dan kesungguhan, tanyakan pada diri sendiri respon apa yang lebih efisien terhadap situasi yang dapat meminimalkan ketegangan yang timbul,
  5. Dengarkan apa yang dikatakan hati sebagai jawaban.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stress kerja menurut Badeni, (2013) adalah sebagai berikut:
  1. Persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka untuk memberi makna terhadap lingkungannya. Maka, individu yang memersepsikan kesan indera atas lingkungannya secara positif akan cenderung kurang stres dibandingkan dengan mereka yang memersepsikan secara negatif terhadap lingkungannya.
  2. Pengalaman menghadapi peristiwa yang menyebabkan stres. Pengalaman dalam menghadapi sebuah peristiwa akan membuat seseorang memahami apa yang akan dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan yang dapat menyebabkan stres kepada seseorang.
  3. Kemampuan memprediksi peristiwa penyebab stres. Apabila seseorang mampu memprediksi peristiwa apa yang akan menjadi penyebab stres, maka ia dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya, sehingga akan dapat mengurangi tingkat stres.
  4. Jenis kepribadian (belief in locus of control-internal or external). Seseorang yang memiliki kepribadian internal locus of control ketika menghadapi situasi yang penuh stres, cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kepribadian seseorang yang external locus of control. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa mereka dengan tempat pengendalian diri dari dalam dapat mengendalikan situasi, sedangkan mereka dengan tempat pengendalian diri dari luar yakin bahwa mereka tidak dapat mengendalikan situasi.
  5. Dukungan sosial. Dukungan sosial baik dari kolegial atau atasan maupun dari keluarga akan dapat mengurangi tingkat stres, karena seseorang yang memiliki dukungan sosial dalam bekerja akan cenderung merasa nyaman dalam bekerja.
  6. Permusuhan. Seseorang yang mudah mengalami kemarahan dan permusuhan yang tinggi akan cenderung mudah terkena stres, karena sifat-sifat seperti ini terdorong oleh perasaan curiga dan tidak mempercayai orang lain.
Dalam Rahim (1996) disebutkan bahwa karakteristik pekerjaan yang menyebabkan sumber stres kerja secara konseptual terdiri dari lima dimensi, yaitu sebagai berikut:
  1. Physical Environment. Lingkungan tempat bekerja yang tidak mendukung terselenggaranya proses bekerja yang baik.
  2. Role conflict. Mengindikasikan suatu tingkatan dimana individu mengalami ketidaksesuaian antara permintaan dan komitmen dari suatu peran.
  3. Role Ambiguity.  Mengindikasikan suatu tingkatan dimana kriteria prioritas, harapan (expectations), dan evaluasi tidak disampaikan secara jelas kepada pegawai.
  4. Role Overload. Mengindikasikan suatu tingkatan dimana permintaan kerja melebihi kemampuan pegawai dan sumber daya lainnya, serta suatu keadaan dimana pegawai tidak mampu menyelesaikan beban kerja yang direncanakan.
  5. Role Insufficiency. Mengindikasikan suatu kondisi dimana pendidikan, training, keterampilan, dan pengalaman pegawai tidak sesuai dengan job requirements. 

Kebermaknaan Hidup

Frankl (2003) dengan teorinya yang diberi nama Logotheraphy, menyimpulkan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna.

Fromm (1996) menegaskan bahwa muara dari kebermaknaan hidup adalah adanya rasa kasihan dan simpati yang merupakan dua perasaan yang berkaitan erat dengan kasih sayang, tetapi tidak sepenuhya identik. Kasih sayang yang sesungguhnya adalah bahwa seseorang sanggup "menderita dengan" atau, dalam arti yang lebih luas, mampu "merasa dengan" orang lain. Kasih sayang, cinta dan rasa kasihan secara umum, diakui merupakan pengalaman-pengalaman perasaan yang halus. Bertolak dari pandangan tersebut,

Schultz (1991) menyebutkan bahwa ada tiga sistem nilai yang merupakan sumber makna hidup.
  1. nilai-nilai daya cipta atau kreasi (creative values), artinya memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupan
  2. nilai-nilai penghayatan (experiental values), meyakini dan menghayati kebenaran, kebijakan, keindahan, keadilan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
  3. nilai-nilai sikap (attitudinal values), yaitu menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.
Logoterapi beranggapan bahwa kehendak untuk hidup bermakna merupakan dambaan manusia untuk meraih kehidupan yang dihayati bermakna dengan jalan menemukan sumber-sumber makna hidup dan merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari terapi ini, yaitu:

  1. hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup
  2. setiap manusia memiliki kebebasan - yang hampir tidak terbatas - untuk menentukan sendiri makna hidupnya. dari sini kita dapat memilih makna atas setiap persitiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu makna positif ataupun makna yang negatif. makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup bermakna.
  3. setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.
Dalam kehidupan terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai ini diterapkan dan dipenuhi. ketiga nilai ini adalah sebagai berikut:

  1. creative values (nilai-nilai kreatif) : kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. menekuni suatu pekerjaan tertentu dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya merupakan salah satu contoh dari berkarya. melalui karya dan kerja manusia dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.
  2. experiental values (nilai-nilai penghayatan) : keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya.
  3. attitudinal values (nilai-nilai bersikap) : menerima ddengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin diletakkan lagi, seperti sakit yang tak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dia lakukan secara maksimal.
Makna hidup harus dicari dan ditemukan sendiri oleh orang yang bersangkutan, maka apabila hasrat hidup bermakna tersebut terpenuhi, orang yang bersangkutan akan merasakan kehidupan bermakna. Menurut Frankl (2003) ciri-ciri orang yang merasakan hidup bermakna, dijelaskan sebagai berikut ini:

  1. menjalani kehidupan sehari-hari dengan semangat dan penuh gairah serta jauh dari perasaaan hampa
  2. tujuan hidup, baik jangka pendek dan jangka panjang jelas, sehingga mereka jadi lebih terarah dan merasakan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
  3. tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari merupakan sumber kepuasan dan kesenangan tersendiri, sehingga dalam pengerjaannya semangat dan bertanggung jawab
  4. mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, artinya menyadari pembatasan-pembatasan lingkungan, tetapi dalam keterbatasan itu tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk dilakukan
  5. menyadari makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan betapapun buruknya keadaan, menghadapinya dengan tabah dan menyadari bahwa hikmah selalu ada dibalik penderitaan
  6. kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menentukan makna hidup sebagai sesuatu yang sangat berharga dan tinggi nilainya
  7. mampu mencintai dan menerima cinta kasih orang lain serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu nilai hidup yang menjadikan hidup ini indah
Berdasarkan teori Frankl (dalam Bastaman, 1996), rumusan tentang individu yang menjalani kehidupan bermakna dan memiliki kebermaknaan hidup mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  1. bertanggung jawab secara pribadi dalam mengarahkan hidupnya dalam menyikapi nasib dan takdir
  2. mengenali diri sendiri dan menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan
  3. memiliki kendali atau kontrol dan sadar terhadap hidupnya
  4. memiliki kebebasan untuk memilih cara bertindak dan bersikap sesuai dengan dirinya
  5. memiliki kemampuan memberi dan menerima cinta
  6. mampu melakukan transendensi diri/melampaui atau mengatasi diri
  7. berorientasi pada masa depan dan bersikap optimis
  8. tidak ditentukan oleh kekuatan di luasr diri mereka sendiri
  9. memiliki dasar untuk terus menjalani hidup
Menurut Crumbaugh & Mahollick (dalam Koeswara, 1992) terdapat enam aspek dalam kebermaknaan hidup.

  1. makna hidup. segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang dan memberi nilai khusus, serta dapat dijadikan sebagai tujuan hidup bagi individu tersebut
  2. kepuasan hidup. penilaian seseorang terhadap hidup yang dijalaninya, sejauhmana ia mampu menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan segala aktifitas yang dilakukannya
  3. kebebasan hidup. perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab
  4. sikap terhadap kematian. pandangan dan kesiapan seseorang terhadap kematian yang akan dihadapi oleh setiap manusia
  5. pikiran tentang bunuh diri. pikiran seseorang untuk melakukan perbuatan bunuh diri
  6. kepantasan hidup. penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauhmana ia merasa bahwa apa yang telah ia alami dalam hidup adalah sebagai sesuatu yang wajar
Bastaman (1997) menyebutkan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi kebermaknaan hidup yang terdiri dari:
1. faktor eksternal
a. sarana dan prasarana: berbagai macam fasilitas yang ada yang lebih bersifat fisik yang nantinya dapat membantu dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dapat menunjang kelancarannya
b. aturan dan norma: adanya aturan dan norma yang baku yang telah disepakati bersama yang nantinya dapat memberikan ikatan secara hukum yang sah dan dapat memberikan pula arahan yang lebih jelas tentang perilaku kehidupan sehari-hari
c. suasana dan kondisi lingkungan: keadaan lingkungan tempat individu tinggal yang nantinya juga dapat memberikan dukungan pada pemenuhan makna kehidupan individu

2. faktor eksternal
a. Creative values (nilai-nilai kreatif) : bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan. Sebenarnya pekerjaan hanyalah sarana yang dapat memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup bukan terletak pada pekerjaan melainkan pada sikap dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
b. Experiential values (nilai-nilai penghayatan) : meyakini dan menghayati akan kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga. Dalam hal ini cinta kasih merupakan nilai yang sangat penting dalam mengembangkan hidup yang bermakna. Mencintai seseorang berarti menerima sepenuhnya keadaan seseorang yang dicintai seperti apa adanya serta benar-benar memahami kepribadiannya dengan penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi, seseorang akan merasakan hidupnya sarat dengan pengalaman-pengalaman penuh makna dan membahagiakan.
c. Attitudional values (nilai-nilai bersikap) : menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tetap terhadap penderitaan yang tak pernah dapat dihadiri lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal tetapi tak berhasil mengatasinya. Mengingat peristiwa yang tragis tak dapat dielakkan lagi, maka sikap menghadapinyalah yang perlu diubah. Dengan mengubah sikap diharapkan beban mental akibat musibah mengurang, bahkan mungkin saja dapat memberikaan pengalaman berharga bagi para penderita yang dalam bahasa sehari-hari hikmah. Penderitaan dapat memberikan makna apabila penderita mampu mengatasinya dengan baik, sekurang-kurangnya dapat menerima keadaannya setelah upaya maksimal dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi. Optimisme dalam menghadapi musibah ini tersirat dalam ungkapan-ungkapan seperti "makna dalam derita" (meaning in suffering) dan " hikmah dalam musibah" (blessing in disguise).

Menurut Frankl (2003) karakteristik makna hidup meliputi tiga sifat, yaitu

  1. makna hidup sifatnya unik dan personal. apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. bahkan mungkin apa yang dianggap penting dan bermakna pada saat ini oleh seseorang, belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat yang lain. dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula
  2. makna hidup sifatnya spesifik dan konkrit. dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil filosofis yang kreatif.
  3. makna hidup sifatnya memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan. makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah.
Berdasarkan hasil temuan studi kasus yang dilakukan Bastaman (1996) yaitu mengenai komponen dan proses keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakna, ia mengkategorikan ke dalam empat dimensi, yaitu:

  1. dimensi personal terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan sikap
  2. dimensi sosial mencakup dukungan sosial, faktor pemicu kesadaran diri dan model ideal pengarahan diri
  3. dimensi nilai-nilai meliputi pencarian makna hidup secara aktif, penemuan makna hidup, keterikatan diri terhadap makna hidup, kegiatan terarah pada tujuan, tantangan dan keberhasilan memenuhi makna hidup
  4. dimensi spiritual terdiri dari keimanan sebagai dasar dari kehidupan beragama.

Kepercayaan Diri

Neil dalam Leonni dan Hadi (2006), kepercayaan diri adalah sejauhmana individu punya keyakinan terhadap penilaiannya atas kemampuan dirinya dan sejauhmana individu bisa merasakan adanya kepantasan untuk berhasil. Menurut M. Zein Hidayat, tidak percaya diri adalah seseorang yang memiliki perilaku seperti tidak mencoba hal baru, merasa tidak diinginkan dalam lingkungan sekitarnya, emosi terlihat kaku, mudah mengalami frustasi hingga terkadang mengesampingkan potensi dan bakat yang dimiliki.

WHO (2003) mengartikan kepercayaan diri sebagai perilaku yang membuat individu memiliki pandangan positif dan realistis mengenai diri mereka sendiri dan situasi di sekelilingnya. Menurut Bandura dalam Hurlock (1999), self confident adalah suatu keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan harapan dan keinginannya.

Swallow (2000) seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu:
  1. menghindari kontak mata
  2. tidak mau melakukan apa-apa
  3. terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya)
  4. tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti "ya", "tidak", "tidak tahu", "halo"
  5. tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas
  6. tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal
  7. mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu
  8. menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agar tidak perlu pergi ke sekolah)
  9. Mengalami psikosomatis
  10. merasa tidak ada yang menyukainya
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
  1. berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
  2.  menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
  3. sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri - namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
  4. perimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
  5. takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
  6. cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
  7. selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
  8. mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)
Indikator percaya diri merupakan suatu hasil yang nampak pada diri seseorang. Contohnya apabila seseorang berani melakukan suatu aktivitas dan kelihatannya ia tidak ragu memilih dan membuat apa yang harus dibuatnya. Berikut beberapa indikator kepercayaan diri:
  1. tampil percaya diri. bekerja sendiri tanpa perlu supervisi, mengambil keputusan tanpa perlu persetujuan orang lain
  2. Bertindak independen. bertindak di luar otoritas formal agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik, namun  hal ini dilakukan demi kebaikan, bukan karena tidak mematuhi prosedur yang berlaku
  3. menyatakan keyakinan dan kemampuan sendiri. menggambarkan dirinya sebagai seorang ahli, seseorang yang mampu mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, seorang penggerak, atau seorang narasumber. secara eksplisit menunjukkan kepercayaan akan penilaiannya sendiri, melihat dirinya lebih baik dari orang lain.
  4. memilih  tantangan atau konflik. menyukai tugas-tugas yang menantang dan mencari tanggung jawab baru. bicara terus terang jika tidak sependapat dengan orang lain yang lebih kuat, tetapi mengutarakannya denga sopan. menyampaikan pendapat dengan jelas dan percaya diri walaupun dalam situasi konflik.
Faktor-faktor penyebab kurang percaya diri
  1. kurang mengenal diri. setelah mengenal diri dengan baik maka langkah selanjutnya adalah menerima diri apa adanya. menerima diri apa adanya bukan berarti pasrah atau pesimis dengan keadaan diri, tetapi sebaliknya menerima dengan positif apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan diri kita.
  2. kecemasan. kita tidak bisa membangun rasa percaya diri sebelum berhasil mengatasi kecemasa. kunci sukses adalah dapat membangun rasa percaya diri dengan cara menghilangkan rasa cemas. rasa cemas berbahaya dan bisa mempengaruhi semua orang di sekitarnya, untuk mengalahkan rasa cemas perlu membangun antusiasme (semangat/minat besar).
  3. kurangnya wawasan. kita perlu membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, semakin banyak dapat ilmu maka semakin luaslah wawasan kita serta semakin percaya diri sebaliknya bila kurang membenahi dan tidak mempunyai wawasan luas bisa mengakibatkan kurang percaya diri dalam bersosialisasi.
Kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
1. faktor internal
a. konsep diri. menurut Centi (1995) konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.
b. harga diri. Meadow dalam Kusuma (2005), harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain.
c. kondisi fisik. Lauster (1997) berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.
d. pengalaman hidup. Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri.

2. faktor eksternal
a. pendidikan. Anthony (1992) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain.
b. pekerjaan. Roger dalam Kusuma (2005) mengemukakan bahwa bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri.
c. lingkungan dan pengalaman hidup. lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. lingkungan masyarakat yang bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995). pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. pemenuhan kebutuhan psikologis merupakan pengalaman yang dialami seseorang selama perjalanan yang buruk pada masa kanak-kanak akan menyebabkan individu kurang percaya diri (Drajat, 1995).

Akibat kurangnya percaya diri
  1. tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh
  2. tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)
  3. mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan
  4. kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah
  5. sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)
  6. canggung dalam menghadapi orang
  7. tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan
  8. sering memiliki harapan yang tidak realistis 
  9. terlalu perfeksionis
  10. terlalu sensitif (perasa)

Wednesday, September 14, 2016

Beban Kerja

Menpan (1997), beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Komaruddin (1996) mengemukakan bahwa analisa beban kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggungjawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang petugas. Permendagri No. 12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan atau unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu.

Beban kerja menurut Haryono (2004), adalah jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal. Gopher & Doncin (1986) mengartikan beban kerja sebagai suatu konsep yang timbul akibat adanya keterbatasan kapasitas dalam memroses informasi. Rodahl dalam Prihatini (2007), menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti:
a) Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, pelatihan atau pendidikan yang diperoleh, tanggung jawab pekerjaan.
b) Organisasi kerja seperti masa waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.
c) Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi, lingkungan kerja biologis, dan lingkungan kerja psikologis. Ketiga aspek ini disebut wring stresor.

2. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Faktor internal meliputi faktor somatis (Jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan), faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan. keinginan dan kepuasan).

Menurut Munandar (2001), mengklasifikasikan beban kerja kedalam faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan sebagai berikut :
a. Tuntutan Fisik.
Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal disamping dampaknya terhadap kinerja pegawai, kondisi fisik berdampak pula terhadap kesehatan mental seorang tenaga kerja. Kondisi fisik pekerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologi seseorang. Dalam hal ini bahwa kondisi kesehatan pegawai harus tetap dalam keadaan sehat saat melakukan pekerjaan , selain istirahat yang cukup juga dengan dukungan sarana tempat kerja yang nyaman dan memadai.

b. Tuntutan tugas
Kerja shif/kerja malam sering kali menyebabkan kelelahan bagi para pegawai akibat dari beban kerja yang berlebihan. Beban kerja berlebihan dan beban kerja terlalu sedikit dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Beban kerja dapat dibedakan menjadi dua katagori yaitu :
- Beban kerja terlalu banyak/sedikit “ Kuantitatif” yang timbul akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu.
- Beban kerja berlebihan/terlalu sedikit Kualitatif yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melaksanakan suatu tugas atau melaksanakan tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja.

Dampak negatif dari kelebihan beban kerja menurut Winaya (1989) beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan tenaga kerja dapat menimbulkan dampak negatif bagi pegawai. Dampak negatif tersebut adalah :
1. Kualitas kerja menurun
Beban kerja yang terlalu berat tidak diimbangi dengan kemampuan tenaga kerja, kelebihan beban kerja akan mengakibatkan menurunnya kualitas kerja karena akibat dari kelelahan fisik dan turunnya konsentrasi, pengawasan diri, akurasi kerja sehingga hasil kerja tidak sesuai dengan standar
2. Keluhan pelanggan
Keluhan pelanggan timbul karena hasil kerja yaitu karena pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan. seperti harus menunggu lama, hasil layanan yang tidak memuaskan.
3. Kenaikan tingkat absensi
Beban kerja yang terlalu banyak bisa juga mengakibatkan pegawai terlalu lelah atau sakit. Hal ini akan berakibat buruk bagi kelancaran kerja organisasi karena tingkat absensi terlalu tinggi, sehingga dapat mempengaruhi terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan.