Home

Tuesday, October 31, 2017

Kesepian (Loneliness)

Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan. Loneliness  terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya,  loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk loneliness yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu  
a.  Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk  loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini. 
b.  Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk  loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk loneliness yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006)  loneliness dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu:  
a.   Transient loneliness yakni perasaan  loneliness  yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan  sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (Meer dalam Newman & Newman, 2006).  
b.   Transitional loneliness yakni ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi  loneliness  setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru). 
c.   Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun  tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).

Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami loneliness, yaitu : 
a.  Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang
Menurut Brehm et al (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang loneliness, yaitu sebagai berikut : 
1). Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya. 
2). Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. 
3). Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. 
4). Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. 
5). Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm et al, 2002). 
Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe loneliness dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation  dan  being alone  disebabkan oleh  karakteristik individu yang  loneliness, sedangkan forced isolation  dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa loneliness. 
b.  Terjadi perubahan terhadap apa yang  diinginkan seseorang dari suatu hubungan 
Menurut Brehm et al (2002)  loneliness juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami loneliness. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu : 
1). Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih.  Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih. 
2). Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan  memuaskan orang tersebut saat berusia 25 tahun.
3). Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Brehm et al (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan  keinginannya maka orang itu akan mengalami loneliness. 
c.  Self-esteem 
Loneliness berhubungan  dengan  self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami loneliness.  
d.  Perilaku interpersonal 
Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness, orang yang mengalami  loneliness akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. 
e.  Atribusi penyebab 
Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan  loneliness muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil.

Berdasarkan survei mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) diuraikan bahwa terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang loneliness, yaitu: 
a. Desperation 
Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain  tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang,  serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional, 
b.  Impatient Boredom  
Impatient Boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar.  Beberapa indikator Impatient Boredom  seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sanagt menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya berada di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu  filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu. 
c.  Self-Deprecation 
Self-Deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator  Self-Deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya intelegensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.  
d. Depression  
Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator Depression menurut Brehm et al (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan  diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.

Faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness diantaranya:  
a. Usia 
Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa loneliness. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov  & Offer (dalam Brehm et al, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling merasakan  loneliness  justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan  dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman pada tahun 1990 (Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama bahwa  loneliness lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda dan lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua.  Menurut Brehm et al (2002) orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja  full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan loneliness.  Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya  usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.  
b.  Status Perkawinan 
Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa  loneliness bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Perbedaan ini  diperhitungkan dengan membandingkan antara orang yang menikah dengan orang yang bercerai (Perlman & Peplau; Rubeinstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Ketika kelompok orang yang menikah dan kelompok orang yang belum menikah dibandingkan, kedua kelompok ini menunjukkan level  loneliness yang sama (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian ini Brehm menyimpulkan bahwa  loneliness lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami/istri pada diri seseorang. 
c.  Gender 
Studi mengenai loneliness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini  disebabkan oleh stereotipe peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotipe peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). 
d.  Status sosial ekonomi 
Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami  loneliness lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.  
e.  Karakteristik Latar Belakang yang Lain 
Rubeinsein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor loneliness. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih  loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat  loneliness yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih  loneliness ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm  et al (2002) proses perceraian 
meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami loneliness ketika anak-anak tersebut dewasa.

Narsistik-Narsisme-Narsisisme

Istilah narsis pertama diperkenalkan oleh Havelock Ellis pada 1898, yang kemudian dikembangkan lagi dalam ilmu psikologi oleh Sigmund Freud. Kata narsis berasal dari sebuah mitologi Yunani kuno, tentang seorang pemuda tampan bernama Narsisus yang dikutuk mencintai bayangan wajahnya sendiri.

Narsisme adalah cinta diri dimana memperhatikan diri sendiri secara berlebihan, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amat penting, menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus dan paling segalanya (Chapplin, 2009).  Individu narsisme memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai popularitas, selalu asyik dan hanya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut kesenangan diri sendiri (Mehdizadeh, 2010)

Orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition). Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki emPathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.

Menurut menurut Sadarjoen (2005) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya, The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati dengan orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat dan kurang rasional.

Narsistik adalah pola kepribadian yang didominasi oleh perasaan dirinya hebat, senang dipuji dan dikagumi serta tidak ada rasa empati. Kepribadian narsistik memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting serta merupakan individu yang unik. Mereka sangat sulit sekali menerima kritik dari orang lain, sering ambisius dan mencari ketenaran. Sedangkan orang-orang dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka; mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar (Ardani, 2011).

Hardjanta (2012) mengatakan bahwa individu dengan kecenderungan narsisistik mempunyai ciri-ciri, antara lain: suka bersolek, suka berdandan dan suka mengagumi dirinya sendiri secara berlebihan. Campbell berpendapat bahwa seseorang narsisistik mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. Mempunyai konsep diri yang selalu positif tentang dirinya (berpikir bahwa dirinya baik dalam hampir segala hal).
b. Egosentrisme (memikirkan dirinya sendiri tanpa mau mendengarkan pandangan orang lain).
c. Merasa diri spesial atau unik.
d. Mempunyai hubungan interpersonal yang kurang baik.

Mitchell mengkategorikan lima ciri khas orang dengan kecenderungan narsisistik, yaitu:
a. Adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus.
b. Kurang dapat berempati terhadap orang lain.
c. Sulit memberikan kasih sayang.
d. Belum punya kontrol moral yang kuat.
e. Kurang rasional.

Ditinjau dari DSM-IV menunjukkan bahwa terdapat salah satu ciri narsistik yaitu merasa layak dan memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi. Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut :
1. Grandiose view of one’s importance, arrogance (Merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki dan ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda)
2. Preoccupation with one’s success, beauty, brilliance (Dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati)
3. Extreme need of admiration. (Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi)
4. Strong sense of entitlement (Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa)
5. Lacks of emPathy (Kurang empati)
6. Tendency to exploit others (Mengeksploitasi hubungan interpersonal)
7. Envy of others. (Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya)
8. Shows arrogant, haughty behavior or attitudes. (Angkuh, memandang rendah orang lain).
9. Believe that she or he is special and unique. (Percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik) (Durand dan Barlow, 2007).

Monday, October 30, 2017

Gender

Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Menurut Cixous dalam Tong (2004), gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan menurut Kristeva dalam Tong (2004) dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara laki-laki dan perempuan baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan social budaya.

Menurut Muhtar dalam Froom (2002) gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin social aau konotasi masyarakat untuk menentukan peran social berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan menurut Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Menurut pemikiran Islam tradisional tersebut bahwa prinsip utamanya adalah bahwa “laki-laki adalah kepala keluarga” dan bertanggung jawab terhadap persoalanpersoalan luar rumah, sedangkan perempuan sebagai istri, bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan domestik lainnya. Perbedaan ini menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didukung pula dengan Surat (An-nisa:34).

Konsep dalam gender terbagi menjadi 2, yaitu: konsep nature dan konsep nurture
a. Nature Secara etimologi nature diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sifat dasar manusia. Nature juga dapat diartikan sebagai suatu faktor kepribadian tentang kekuatan biologis yang mengatur perkembangan manusia. Nature dapat diartikan sebagai faktor kepribadian yang terkembang secara alami dan dipengaruhi oleh genetic. Dalam kajian gender, nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis. Dinyatakan sebagai teori nature karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara alami.

b. Nurture Secara etimologi nurture berarti kegiatan perawatan atau pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Nurture dapat diartikan sebagai suatu faktor kepribadian tentang kekuatan lingkungan yang mengatur perkembangan manusia. Nurture dapat berupa lingkungan keluarga, masyarakat bahkan faktor ekonomi dan budaya. Dalam kajian gender, nurture sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor budaya. Dinyatakan sebagai teori nurture karena faktor-faktor social dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat terulang secara turun temurun. (Lippa, 2005)

Ketidakadilan dan ketidaksetaraangender dapat terjadi dalam beberapa bentuk atau manifestasi, yakni:
a. Stereotip: menempatkan wanita sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu dilindungi, tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil keputusan, dan lain-lain;
b. Subordinasi: akibat bentuk stereotipi menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki, tidak boleh mengambil keputusan dibandingkan laki-laki, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan, dan lain-lain;
c. Marginalisasi: terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam berbagai hal, yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lainlain.
d. Beban Majemuk: perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-laki, dan lebih lama waktu kerjanya, misalnya fungsi reproduktif dan peran sebagai pengelola rumah tangga, termasuk bekerja di luar rumah.
e. Kekerasan Berbasis Gender: perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual atau psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan bisa berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi diranah publik, tempat kerja, atau dalam kehidupan rumah tangga.