Home

Friday, August 26, 2016

Komunikasi Interpersonal

Chaplin (1995), penerimaan sosial adalah pengakuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai individu yang mendapatkan penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari individu lain atau kelompok secara utuh. Menurut Asher & Parker dalam Andi Mappiere (1982) penerimaan sosial adalah suatu keadaan dimana individu itu disukai dan diterima oleh teman lain di dalam lingkungan dan setiap individu diterima oleh individu lain secara penuh dan penerimaan semacam ini akan menimbulkan perasaan aman. Penerimaan Sosial diartikan sebagai perhatian positif dari orang lain (Sinthia, 2011). Sedangkan menurut Hurlock (1998) menyebutkan bahwa penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seseorang menajdi anggota. Penerimaan sosial menunjukkan suatu keberhasilan seorang anak untuk berperan di dalam kelompoknya dan bekerja atau bermain dengannya (Ervika, 2011).

Sementara itu pengertian penerimaan sosial menurut Beck (dalam Habibah, 2000) adalah kemampuan seseorang, sehingga ia dihormati oleh anggota kelompok yang lainnya sebagai partner sosial yang berguna. Sedangkan menurut Leary (2010), penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial. Berdasarkan pada penelitian Karina (2012) indikator penerimaan sosial adalah
  1. keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain
  2. adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain
  3. kesamaan (similiarity) yang dirasakan terhadap orang lain
Andi Mappiere (1982) menjabarkan seseorang diterima di dalam lingkungannya dipersepsikan menampilkan sikap-sikap sebagai berikut:
  1. menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu tanpa syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan yang dimiliki individu atau dengan kata lain keadaan individu diterima sepenuhnya.
  2. emandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar belakang atau keadaan individu
  3. tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu memiliki keyakinan atau kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya
  4. individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki kebebasan. Dengan kata lain individi akan merasakan bahwa lingkungannya memberikan suatu independensi (mandiri)
Sedangkan menurut Hurlock (1997) seseorang yang diterima oleh kelompok sosialnya akan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  1. merasa aman juga berada di tenagh-tengah lingkungan. Individu akan merasa nyaman ketika berada di lingkungan
  2. dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan mempunyai harga diri
  3. akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin bahwa kelompok menerima keadaannya
  4. akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. dalam arti individu akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan dapat menerima keadaan individu

Pengawasan Kerja

Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki (Lubis, 1985). Menurut Prayudi (1981), pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan. Menurut Manullang (2002), pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana semula.

Menurut Schermerhorn dalam Ernie dan Saefullah (2005), mendifinisikan pengawasan merupakan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dalam pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan tersebut. Menurut Harahap (2001), pengawasan adalah keseluruhan sistem, teknik, cara yang mungkin dapat digunakan oleh seorang atasan untuk menjamin agar segala aktivitas yang dilakukan oleh dan dalam organisasi benar-benar menerapkan prinsip efisiensi dan mengarah pada upaya mencapai keseluruhan tujuan organisasi. 

Menurut Handoko (1995), bahwa karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dapat diperinci sebagai berikut:
  1. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak akurat dari system pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.
  2. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.
  3. Obyektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat obyektif secara lengkap.
  4. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategic. Sistem pengawasan harus memusatkan perhatiannya pada bidang-bidang dimana penyimpangan-penyimpangan dari standart paling sering terjadi atau yang akan mengakibatkan kerusakan paling fatal.
  5. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan system pengawasan harus lebih rendah, atau paling tidak sama dengan kegunaan yang diperoleh dari system tersebut.
  6. Realistik secara organisasional. Sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.
  7. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena setiap tahap proses pekerjaan dapat mempengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi, dan informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya.
  8. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibelitas untuk memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari lingkungan.
  9. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus menunjukkan baik deteksi atau deviasi dari standart, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil.
  10. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi.
Lubis (1985), agar pengawasan dapat berjalan dengan efisien dan efektif perlu adanya system pengawasan yang efektif maka perlu dipenuhi beberapa pengawasan yaitu :
  1. Pengawasan harus bersifat fact finding, artinya pengawasan harus menentukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan dalam organisasi.
  2. Pengawasan harus bersifat preventif, artinya harus dapat mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewenganpenyelewengan dari rencana semula.
  3. Pengawasan diarahkan kepada masa sekarang.
  4. Pengawasan hanya sekedar alat untuk meningkatkan efisiensi dan tidak boleh dipandang sebagi tujuan.
  5. Karena pengawasan hanya sekedar alat administrasi, pelaksanaan pengawasan harus mempermudah tercapainya tujuan.
  6. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk terutama menemukan siapa yang salah jika ada ketidakberesan, akan tetapi untuk menemukan apa yang tidak benar.
  7. Pengawasan bersifat harus membimbing agar supaya para pelaksana meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas yang telah ditentukan baginya. 
Berdasarkan pendapat Lubis (1985) pengawasan dapat dilakukan dengan mempergunakan cara-cara sebagai berikut :
1. Pengawasan langsung, dilakukan oleh manajer pada waktu kegiatankegiatan sedang berjalan. Pengawasan langsung dapat berbentuk :
a. Inspeksi langsung
b. Observasi ditempat (on the spot observation)
c. Laporan ditempat (on the spot report), berarti penyampaian keputusan ditempat bila diperlukan.

2. Pengawasan tidak langsung Pengawasan dari jarak jauh melalui laporan yang disampaikan oleh para bawahan. Laporan ini dapat berbentuk :
a. Laporan tertulis
b. Laporan lisan.

Menurut Duncan dalam Harahap (2001) mengemukakan bahwa beberapa sifat pengawasan yang efektif sebagai berikut :
  1. Pengawasan harus dipahami sifat dan kegunaannya. Oleh karena itu harus dikomunikasikan. Masing-masing kegiatan membutuhkan sistem pengawasan tertentu yang berlainan dengan sistem pengawasan bagi kegiatan lain. Sistem pengawasan untuk bidang penjualan dan sistem untuk bidang keuangan akan berbeda. Oleh karena itu sistem pengawasan harus dapat merefleksi sifat-sifat dan kebutuhan dari kegiatan yang harus diawasi. Pengawasan dibidang penjualan umumnya tertuju pada kuantitas penjualan, sementara pengawasan dibidang keuangan tertuju pada penerimaan dan penggunaan dana.
  2. Pengawasan harus mengikuti pola yang dianut organisasi. Titik berat pengawasan sesungguhnya berkisar pada manusia, sebab manusia itulah yang melakukan kegiatan dalam badan usaha atau organisasi yang bersangkutan. Karyawan merupakan aspek intern perusahaan yang kegiatan-kegiatannya tergambar dalam pola organisasi, maka suatu sistem pengawasan harus dapat memenuhi prinsip berdasarkan pola organisasi. Ini berarti bahwa dengan suatu sistem pengawasan , penyimpangan yang terjadi dapat ditunjukkan pada organisasi yang bersangkutan.
  3. Pengawasan harus dapat mengidentifikasi masalah organisasi. Tujuan utama dari pengawasan ialah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, agar sistem pengawasan benar-benar efektif, artinya dapat merealisasi tujuannya, maka suatu sistem pengawasan setidaknya harus dapat dengan segera mengidentifikasi kesalahan yang terjadi dalam organisasi. Dengan adanya identifikasi masalah atau penyimpangan, maka organisasi dapat segera mencari solusi agar keseluruhan kegiatan operasional benar-benar dapat atau mendekati apa yang direncanakan sebelumnya.
  4. Pengawasan harus fleksibel. Suatu sistem pengawasan adalah efektif, bilamana sistem pengawasan itu memenuhi prinsip fleksibilitas. Ini berarti bahwa pengawasan itu tetap dapat dipergunakan, meskipun terjadi perubahan-perubahan terhadap rencana diluar dugaan.
  5. Pengawasan harus ekonomis. Sifat ekonomis dari suatu sistem pengawasan sungguh-sungguh diperlukan. Tidak ada gunanya membuat sistem pengawasan yang mahal, bila tujuan pengawasan itu dapat direfleksikan dengan suatu sistem pengawasan yang lebih murah. Sistem pengawasan yang dianut perusahaan-perusahaan besar tidak perlu ditiru bila pengawasan itu tidak ekonomis bagi suatu perusahaan lain. Hal yang perlu dipedomani adalah bagaimana membuat suatu sistem pengawasan dengan benar-benar merealisasikan motif ekonomi.
Menurut Husnaini (2001), tujuan pengawasan adalah sebagai berikut :
  1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, dan hambatan.
  2. Mencegah terulang kembalinya kesalahan, penyimpangan, pemborosan, dan hambatan.
  3. Meningkatkan kelancaran operasi perusahaan. Melakukan tindakan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan dalam pencapaian kerja yang baik.
Menurut Maringan (2004) menyatakan tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:
  1. Mencegah dan memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan.
  2. Agar pelaksanaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Selanjutnya dijelaskan menurut Maringan (2004), pengawasan terbagi 4 yaitu:
  1. Pengawasan dari dalam perusahaan Pengawasan yang dilakukan oleh atasan untuk mengumpul data atau informasi yang diperlukan oleh perusahaan untuk menilai kemajuan dan kemunduran perusahaan.
  2. Pengawasan dari luar perusahaan Pengawasan yang dilakukan oleh unit diluar perusahaan. Ini untuk kepentingan tertentu.
  3. Pengawasan Preventif Pengawasan dilakukan sebelum rencana itu dilaksakaan. Dengan tujuan untuk mengacah terjadinya kesalahan/kekeliruan dalam pelaksanaan kerja.
  4. Pengawasan Represif Pengawasan Yang dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan yang direncanakan.
Menurut Hasibuan (2001), sifat dan waktu pengawasan terdiri dari :
1. Preventive controll, adalah pengendalian yang dilakukan sebelum kegiatan dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Preventive controll ini dilakukan dengan cara :
a. Menentukan proses pelaksanaan pekerjaan.
b. Membuat peraturan dan pedoman pelaksanaan pekerjaan.
c. Menjelaskan dan atau mendmonstrasikan cara pelaksanaan pekerjaan itu.
d. Mengorganisasi segala macam kegiatan.
e. Menentukan jabatan, job description, authority, dan responsibility bagi setiap individu karyawan.
f. Menetapkan sistem koordinasi pelaporan dan pemeriksaan.
g. Menetapkan sanksi-sanksi bagi karyawan yang membuat kesalahan.
Preventive controll adalah pengendalian terbaik karena dilakukan sebelum terjadi kesalahan.

2. Repressive Controll, adalah pengendalian yang dilakukan setelah terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, dengan maksud agar tidak terjadi pengulangan kesalahan, sehingga hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Repressive controll ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Membandingkan hasil dengan rencana.
b. Menganalisis sebab-sebab yang menimbulkan kesalahan dan mencari tindakan perbaikannya.
c. Memberikan penilaian terhadap pelaksanaannya, jika perlu dikenakan sanksi hukuman kepadanya.
d. Menilai kembali prosedur-prosedur pelaksanaan yang ada.
e. Mengecek kebenaran laporan yang dibuat oleh petugas pelaksana.
f. Jika perlu meningkatkan keterampilan atau kemampuan pelaksana melalui training dan education.

3. Pengawasan saat proses dilaksanakan yaitu jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki.
4. Pengawasan berkala, adalah pengendalian yang dilakukan secara berkala,s misalnya per bulan, per semeter, dan lain-lain.
5. Pengawasan mendadak, adalah pengawasan yang dilakukan secara mendadak untuk mengetahui apakah pelaksanaan atau peraturan-peraturan yang ada telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dengan baik. Pengawasan mendadak ini sekalisekali perlu dilakukan, supaya kedisiplinan karyawan tetatp terjaga dengan baik.
6. Pengawasan melekat (waskat) adalah pengawasan yang dilakukan secara integratif mulai dari sebelum, pada saat, dan sesudah kegiatan operasional dilakukan

Menurut Mulyadi (2007), mengemukakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan adalah:
  1. Perubahan yang selalu terjadi baik dari luar maupun dari dalam organisasi
  2. Kompleksitas organisasi memerlukan pengawasan formal karena adanya desentralisasi kekuasaan.
  3. Kesalahan/Penyimpangan yang dilakukan anggota organisasi memerlukan pengawasan
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, I. (1985). Pengendalian dan pengawasan proyek dalam masyarakat. Jakarta timur: Ghalia Indonesia.
Handoko, T. H. (1995). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta :BPFE.
Harahap, S. (2001). Sistem Pengawasan Manajemen. Jakarta: Penerbit Quantum
Hasibuan, M. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengertian Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
Husnaini, U. (2001). Manajemen Teori Praktik Dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Mannulang, M. (2002). Dasar –dasar manajemen. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Prayudi. (1981). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ernie, S. T., & Saefullah, K. (2005). Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana.
Maringan, M. S. (2004). Dasar-dasar dan AdministrasiManajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia
Mulyadi. (2007). Sistem Akuntansi. Jakarta: Selemba Empat.

Sunday, August 14, 2016

Penerimaan Sosial

Chaplin (1995), penerimaan sosial adalah pengakuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai individu yang mendapatkan penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari individu lain atau kelompok secara utuh. Menurut Asher & Parker dalam Andi Mappiere (1982) penerimaan sosial adalah suatu keadaan dimana individu itu disukai dan diterima oleh teman lain di dalam lingkungan dan setiap individu diterima oleh individu lain secara penuh dan penerimaan semacam ini akan menimbulkan perasaan aman.

Penerimaan Sosial diartikan sebagai perhatian positif dari orang lain (Sinthia, 2011). Sedangkan menurut Hurlock (1998) menyebutkan bahwa penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seseorang menajdi anggota. Penerimaan sosial menunjukkan suatu keberhasilan seorang anak untuk berperan di dalam kelompoknya dan bekerja atau bermain dengannya (Ervika, 2011). Sementara itu pengertian penerimaan sosial menurut Beck (dalam Habibah, 2000) adalah kemampuan seseorang, sehingga ia dihormati oleh anggota kelompok yang lainnya sebagai partner sosial yang berguna. Sedangkan menurut Leary (2010), penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial.

Berdasarkan pada penelitian Karina (2012) indikator penerimaan sosial adalah :
  1. keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain
  2. adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain
  3. kesamaan (similiarity) yang dirasakan terhadap orang lain
Andi Mappiere (1982) menjabarkan seseorang diterima di dalam lingkungannya dipersepsikan menampilkan sikap-sikap sebagai berikut:
  1. menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu tanpa syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan yang dimiliki individu atau dengan kata lain keadaan individu diterima sepenuhnya.
  2. memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar belakang atau keadaan individu
  3. tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu memiliki keyakinan atau kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya
  4. individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki kebebasan. Dengan kata lain individi akan merasakan bahwa lingkungannya memberikan suatu independensi (mandiri)
Sedangkan menurut Hurlock (1997) seseorang yang diterima oleh kelompok sosialnya akan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  1. merasa aman juga berada di tenagh-tengah lingkungan. Individu akan merasa nyaman ketika berada di lingkungan
  2. dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan mempunyai harga diri
  3. akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin bahwa kelompok menerima keadaannya
  4. akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. dalam arti individu akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan dapat menerima keadaan individu

Monday, August 8, 2016

Gaya Hidup Hedonisme


Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Menurut Kottler (dalam Sakinah, 2002) dijelaskan bahwa gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Pendapat lain dari Plummer (1983) bahwa gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya.

Bentuk-bentuk gaya hidup menurut Chaney (dalam Idi Subandy, 1997) ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain : industri gaya hidup, iklan gaya hidup, public realtions, dan journalisme gaya hidup, gaya hidup mandiri dan gaya hidup hedonis. Amstrong (dalam Nugrahen, 2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang adalah sikap pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, persepsi, kelompok referensi, kelas sosial, keluarga dan kebudayaan.

Menurut Mowen dan Minor (2002) gaya hidup memiliki beberapa aspek berupa pernyataan AIO yang digunakan untuk mengetahui gaya hidup, yaitu antara lain:
  1. Pertanyaan Aktivitas (activity questions) Meminta konsumen mengindikasi apa yang mereka lakukan, apa yang mereka beli, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu mereka.
  2. Pertanyaan Minat (interest question) Memfokuskan pada preferensi dan prioritas konsumen
  3. Pertanyaan Opini (opinion question) Menyelidiki pandangan dan perasaan konsumen mengenai topik-topik peristiwa dunia, lokal, moral, ekonomi dan sosial.
Plummer (dalam Kasali 2008) menyatakan bahwa segmentasi gaya hidup mengukur aktivitas-aktivitas manusia dalam hal:
  1. Bagaimana mereka menghabiskan waktunya
  2. Minat individu, apa yang dianggap penting di sekitarnya.
  3. Pandangan-pandangannya baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain
Dalam kamus Collins Gem (1993) dinyatakan bahwa, hedonisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup, atau hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata. Filsuf Epicurus (341-279 SM) yang mempopulerkan paham hedonisme, suatu paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan yang paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Nilai yang mengarahkan individu untuk mencapai kesenangan atau menikmati hidup menurut Schwartz (wikipedia, 2006) disebut Hedonisme. 

Ciri-ciri hedonisme menurut Cicerno (dalam Russell (2004) adalah sebagai berikut :
  1. memiliki pandangan gaya hidup instan
  2. melihat perolehan harta dari hasil akhir bukan proses untuk membuat hasil akhir
  3. menjadi pengejar modernitas fisik
  4. memiliki relativitas kenikmatan di atas rata-rata tinggi
  5. memenuhi banyak keinginan-keinginan spontan yang muncul.
  6. ketika mendapat masalah yang dianggap berat, muncul anggapan bahwa dunia begitu membencinya
  7. berapa uang yang dimilikinya akan habis
Melihat dari ciri-ciri tersebut, hedonisme lebih menitikberatkan kepada kebutuhan jasmani daripada rohani. Hedonisme kurang lebih adalah berupa kesenangan sesaat yaitu kesenangan duniawi. Menurut Well dan Tigert (Engel, 1993), ada tiga aspek dalam gaya hidup hedonis diantaranya adalah:
  • Minat. Minat diartikan sebagai apa yang menarik dari suatu lingkungan individu tersebut dalam memperhatinkannya. Minat dapat muncul terhadap suatu objek, peristiwa, atau topik yang menekan pada unsur kesenangan hidup. Antara lain adalah fasion, makanan, benda-benda mewah, tempat berkumpul, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
  • Aktivitas. Aktivitas yang dimaksud adalah cara individu menggunakan waktunya yang berwujud tindakan nyata yang dapat dilihat. Misalnya lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak membeli barang-barang yang kurang diperlukan, pergi ke pusat pembelanjaan dan cafĂ©.
  • Opini. Opini adalah pendapat seseorang yang diberikan dalam merespon situasi ketika muncul pernyataan-pernyataan atau tentang isu-isu social dan produk-produk yang berkaitan dengan hidup.
Menurut Martha dkk (2008), aspek gaya hidup hedonis yaitu terdiri dari tiga yaitu aktivitas, minat, dan pendapat, kemudian aspeknya diwujudkan dalam benttuk suka mencari perhatian, boros, Memilihmilih teman, dan waktu luang dihabiskan dengan bersenang-senang. Gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan untuk mendapatkan atau menggunakan barang-barang dan jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatankegiatan tersebut.

Menurut Loudan dan Bitta (Martha dkk, 2008), faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah budaya, nilai, domegrafik, kelas social, kelompok rujukan atau kelompok acuan, keluarga, kepribadian, motivasi dan emosi. Lebih lanjut Kotler (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya  hidup seseorang ada dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal diantaranya sebagai berikut:
  1. Sikap. Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
  2. Pengalaman dan Pengamatan. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamtan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakaannya di masa lalu dan dapat dipelajari, memalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu objek.
  3. Kepribadian. Kepribadian adalah konfigurasi karakter individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
  4. Konsep Diri. Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan brand image. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadapa suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
  5. Motif. Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.
  6. Persepsi. Persepsi adalah proses dimana seseorang Memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar yang berarti mengenai dunia.
Adapun faktor eksternal dijelaskan oleh Kotler (1997) sebagai berikut:
  1. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung langsung atau tidak langsung terhadap sikao dan perilaku seseoarang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
  2. Keluarga. Keluarga memegang peran terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu. Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
  3. Kelas Sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogeny dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembangian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalakan suatu peranan.
  4. Kebudayaan. Kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normative, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.