Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan. Loneliness terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).
Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk loneliness yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu
a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini.
b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk loneliness yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.
Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) loneliness dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu:
a. Transient loneliness yakni perasaan loneliness yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (Meer dalam Newman & Newman, 2006).
b. Transitional loneliness yakni ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi loneliness setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru).
c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).
Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami loneliness, yaitu :
a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang
Menurut Brehm et al (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang loneliness, yaitu sebagai berikut :
1). Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.
2). Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.
3). Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri.
4). Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana.
5). Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm et al, 2002).
Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe loneliness dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang loneliness, sedangkan forced isolation dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa loneliness.
b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan
Menurut Brehm et al (2002) loneliness juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami loneliness. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu :
1). Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.
2). Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan orang tersebut saat berusia 25 tahun.
3). Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Brehm et al (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami loneliness.
c. Self-esteem
Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami loneliness.
d. Perilaku interpersonal
Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness, orang yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan.
e. Atribusi penyebab
Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan loneliness muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil.
Berdasarkan survei mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) diuraikan bahwa terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang loneliness, yaitu:
a. Desperation
Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang, serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional,
b. Impatient Boredom
Impatient Boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator Impatient Boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sanagt menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya berada di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu.
c. Self-Deprecation
Self-Deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator Self-Deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya intelegensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.
d. Depression
Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator Depression menurut Brehm et al (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.
Faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness diantaranya:
a. Usia
Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa loneliness. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm et al, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling merasakan loneliness justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman pada tahun 1990 (Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama bahwa loneliness lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda dan lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua. Menurut Brehm et al (2002) orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan loneliness. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.
b. Status Perkawinan
Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa loneliness bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Perbedaan ini diperhitungkan dengan membandingkan antara orang yang menikah dengan orang yang bercerai (Perlman & Peplau; Rubeinstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Ketika kelompok orang yang menikah dan kelompok orang yang belum menikah dibandingkan, kedua kelompok ini menunjukkan level loneliness yang sama (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian ini Brehm menyimpulkan bahwa loneliness lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami/istri pada diri seseorang.
c. Gender
Studi mengenai loneliness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotipe peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotipe peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993).
d. Status sosial ekonomi
Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.
e. Karakteristik Latar Belakang yang Lain
Rubeinsein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor loneliness. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih loneliness ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm et al (2002) proses perceraian
meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami loneliness ketika anak-anak tersebut dewasa.