Home

Sunday, March 4, 2018

Efikasi Diri

Konsep efikasi diri sebenarnya adalah inti dari teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura yang menerkankan peran belajar observasional, pengamatan sosial dan determinisme timbal balik dalam pengembangan kepribadian. Menurut Bandura (dalam Jess Feist & Feist, 2010) efikasi diri adalah keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Bandura juga menggambarkan efikasi diri sebagai penentu bagaimana orang merasa, berfikir, memotivasi diri dan berperilaku (Bandura, 1994). Bandura (Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap perilaku.

Alwisol (2009), menyatakan bahwa efikasi diri sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
Schunk (Anwar, 2009) mengatakan bahwa efikasi diri sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dalam memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Sejalan dengan Woolfolk (Anwar, 2009) bahwa efikasi diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

Menurut Bandura (dalam Ghufron, 2010), efikasi diri tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut adalah tiga dimensi tersebut, yaitu :
a. Tingkat, dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya.
b. Kekuatan, dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi level taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
c. Generalisasi, dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya.

Menurut Bandura (dalam Jess Feist & Feist, 2010) efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat hal, yaitu :
a. Pengalaman menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu. Performa yang berhasil akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman pada kegagalan akan menurunkannya. Setelah efikasi diri kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan-kegagalan yang umum akan terkurangi secara sendirinya.
b. Modeling sosial. Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang dilakukannya.
c. Persuasi sosial. Individu diarahkan berdasarkan nasihat, saran dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu tercapainya tujuan yang diinginkannya. Pengaruh persuasi tidaklah terlalu besar, dikarenakan tidak memberikan pengalaman yang dapat langsung dialami atau diamati individu.
d. Kondisi fisik dan emosional. Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stress yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang rendah.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi diri, antara lain : (Bandura, dalam Anwar 2009)
a. Budaya mempengaruhi efikasi diri melalui nilai, kepercayaan dan proses pengaturan diri yang berfungsi sebagai sumber penilaian efikasi diri dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan efikasi diri.
b. Jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita efikasi dirinya lebih tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
c. Sifat dari tugas yang dihadapi. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
d. Insentif eksternal. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan efikasi diri adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan. Status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga tinggi. Begitu pula sebaliknya.
f. Informasi tentang kemampuan diri. Efikasi diri yang tinggi dapat diperoleh dari informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki efikasi diri yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.

Bandura (1994) menjelaskan mengenai pengaruh dan fungsi efikasi diri, yaitu:
a. fungsi kognitif. efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya dan mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah antisipasi bisa usahanya yang pertama gagal dilakukan.
b. fungsi motivasi. efikasi diri akan berpengaruh terhadap aktivitas yang dipilih, keras atau tidaknya dan tekan atau tidaknya individu dalam usaha mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
c. fungsi afeksi. mengontrol stress yang terjadi. Bandura menyatakan bahwa efikasi diri mengatur perilaku untuk menghindari suatu kecemasan.
d. fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan diambil oleh individu.

Wednesday, February 28, 2018

Insentif Karyawan

Hasibuan (2010) berpendapat bahwa insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan tertentu berdasarkan prestasi kerjanya agar karyawan terdorong meningkatkan produktivitas kerjanya.
Ranupandojo (2002) menyatakan bahwa insentif merupakan bentuk motivasi yang dinyatakan dalam bentuk uang.
Selain itu, menurut Rivai (2009) insentif adalah bentuk pembayaran yang dikaitkan dengan kinerja dan gainsharing sebagai pembagian keuntungan bagi karyawan akibat peningkatan produktivitas atau penghematan biaya.
Wibowo (2011) berpendapat bahwa insentif menghubungkan penghargaan dan kinerja dengan memberikan imbalan kinerja tidak berdasarkan senioritas atau jam bekerja.
Mangkunegara (2009), insentif adalah penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan oleh pihak pemimpin organisasi kepada karyawan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan organisasi.

Tujuan pemberian insentif, pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan dalam upaya mencapai tujuan-tujuan organisasi (Handoko, 2010).
Menurut Rivai (2009) tujuan utama dari insentif adalah untuk memberikan tanggung jawab dan dorongan kepada karyawan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil kerjanya. Sedangkan bagi perusahaan, insentif merupakan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, dimana produktivitas menjadi satu hal yang sangat penting.

Hasibuan (2010) membedakan insentif menjadi tiga, yaitu :
a) Non materian insentif yaitu adanya perangsang yang diberikan kepada karyawan yang berbentuk penghargaan/pengukuhan berdasarkan prestasi kerjanya, seperti piagam, piala, medali, dan sebagainya.
b) Material insentif, yaitu daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya, berbentuk uang atau barang
c) Social insentif, yaitu pemberian daya perangsang kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya berupa fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, seperti promosi, mengikuti pendidikan, naik haji, dan sebagainya.

Tuesday, October 31, 2017

Kesepian (Loneliness)

Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan. Loneliness  terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya,  loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk loneliness yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu  
a.  Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk  loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini. 
b.  Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk  loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk loneliness yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006)  loneliness dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu:  
a.   Transient loneliness yakni perasaan  loneliness  yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan  sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (Meer dalam Newman & Newman, 2006).  
b.   Transitional loneliness yakni ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi  loneliness  setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru). 
c.   Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun  tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).

Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami loneliness, yaitu : 
a.  Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang
Menurut Brehm et al (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang loneliness, yaitu sebagai berikut : 
1). Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya. 
2). Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. 
3). Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. 
4). Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. 
5). Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm et al, 2002). 
Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe loneliness dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation  dan  being alone  disebabkan oleh  karakteristik individu yang  loneliness, sedangkan forced isolation  dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa loneliness. 
b.  Terjadi perubahan terhadap apa yang  diinginkan seseorang dari suatu hubungan 
Menurut Brehm et al (2002)  loneliness juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami loneliness. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu : 
1). Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih.  Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih. 
2). Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan  memuaskan orang tersebut saat berusia 25 tahun.
3). Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Brehm et al (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan  keinginannya maka orang itu akan mengalami loneliness. 
c.  Self-esteem 
Loneliness berhubungan  dengan  self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami loneliness.  
d.  Perilaku interpersonal 
Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness, orang yang mengalami  loneliness akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. 
e.  Atribusi penyebab 
Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan  loneliness muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil.

Berdasarkan survei mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) diuraikan bahwa terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang loneliness, yaitu: 
a. Desperation 
Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain  tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang,  serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional, 
b.  Impatient Boredom  
Impatient Boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar.  Beberapa indikator Impatient Boredom  seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sanagt menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya berada di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu  filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu. 
c.  Self-Deprecation 
Self-Deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator  Self-Deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya intelegensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.  
d. Depression  
Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator Depression menurut Brehm et al (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan  diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.

Faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness diantaranya:  
a. Usia 
Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa loneliness. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov  & Offer (dalam Brehm et al, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling merasakan  loneliness  justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan  dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman pada tahun 1990 (Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama bahwa  loneliness lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda dan lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua.  Menurut Brehm et al (2002) orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja  full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan loneliness.  Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya  usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.  
b.  Status Perkawinan 
Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa  loneliness bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Perbedaan ini  diperhitungkan dengan membandingkan antara orang yang menikah dengan orang yang bercerai (Perlman & Peplau; Rubeinstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Ketika kelompok orang yang menikah dan kelompok orang yang belum menikah dibandingkan, kedua kelompok ini menunjukkan level  loneliness yang sama (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian ini Brehm menyimpulkan bahwa  loneliness lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami/istri pada diri seseorang. 
c.  Gender 
Studi mengenai loneliness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini  disebabkan oleh stereotipe peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotipe peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). 
d.  Status sosial ekonomi 
Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami  loneliness lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.  
e.  Karakteristik Latar Belakang yang Lain 
Rubeinsein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor loneliness. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih  loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat  loneliness yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih  loneliness ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm  et al (2002) proses perceraian 
meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami loneliness ketika anak-anak tersebut dewasa.

Narsistik-Narsisme-Narsisisme

Istilah narsis pertama diperkenalkan oleh Havelock Ellis pada 1898, yang kemudian dikembangkan lagi dalam ilmu psikologi oleh Sigmund Freud. Kata narsis berasal dari sebuah mitologi Yunani kuno, tentang seorang pemuda tampan bernama Narsisus yang dikutuk mencintai bayangan wajahnya sendiri.

Narsisme adalah cinta diri dimana memperhatikan diri sendiri secara berlebihan, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amat penting, menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus dan paling segalanya (Chapplin, 2009).  Individu narsisme memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai popularitas, selalu asyik dan hanya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut kesenangan diri sendiri (Mehdizadeh, 2010)

Orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition). Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki emPathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.

Menurut menurut Sadarjoen (2005) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya, The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati dengan orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat dan kurang rasional.

Narsistik adalah pola kepribadian yang didominasi oleh perasaan dirinya hebat, senang dipuji dan dikagumi serta tidak ada rasa empati. Kepribadian narsistik memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting serta merupakan individu yang unik. Mereka sangat sulit sekali menerima kritik dari orang lain, sering ambisius dan mencari ketenaran. Sedangkan orang-orang dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka; mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar (Ardani, 2011).

Hardjanta (2012) mengatakan bahwa individu dengan kecenderungan narsisistik mempunyai ciri-ciri, antara lain: suka bersolek, suka berdandan dan suka mengagumi dirinya sendiri secara berlebihan. Campbell berpendapat bahwa seseorang narsisistik mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. Mempunyai konsep diri yang selalu positif tentang dirinya (berpikir bahwa dirinya baik dalam hampir segala hal).
b. Egosentrisme (memikirkan dirinya sendiri tanpa mau mendengarkan pandangan orang lain).
c. Merasa diri spesial atau unik.
d. Mempunyai hubungan interpersonal yang kurang baik.

Mitchell mengkategorikan lima ciri khas orang dengan kecenderungan narsisistik, yaitu:
a. Adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus.
b. Kurang dapat berempati terhadap orang lain.
c. Sulit memberikan kasih sayang.
d. Belum punya kontrol moral yang kuat.
e. Kurang rasional.

Ditinjau dari DSM-IV menunjukkan bahwa terdapat salah satu ciri narsistik yaitu merasa layak dan memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi. Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut :
1. Grandiose view of one’s importance, arrogance (Merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki dan ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda)
2. Preoccupation with one’s success, beauty, brilliance (Dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati)
3. Extreme need of admiration. (Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi)
4. Strong sense of entitlement (Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa)
5. Lacks of emPathy (Kurang empati)
6. Tendency to exploit others (Mengeksploitasi hubungan interpersonal)
7. Envy of others. (Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya)
8. Shows arrogant, haughty behavior or attitudes. (Angkuh, memandang rendah orang lain).
9. Believe that she or he is special and unique. (Percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik) (Durand dan Barlow, 2007).

Monday, October 30, 2017

Gender

Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Menurut Cixous dalam Tong (2004), gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan menurut Kristeva dalam Tong (2004) dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara laki-laki dan perempuan baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan social budaya.

Menurut Muhtar dalam Froom (2002) gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin social aau konotasi masyarakat untuk menentukan peran social berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan menurut Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Menurut pemikiran Islam tradisional tersebut bahwa prinsip utamanya adalah bahwa “laki-laki adalah kepala keluarga” dan bertanggung jawab terhadap persoalanpersoalan luar rumah, sedangkan perempuan sebagai istri, bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan domestik lainnya. Perbedaan ini menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didukung pula dengan Surat (An-nisa:34).

Konsep dalam gender terbagi menjadi 2, yaitu: konsep nature dan konsep nurture
a. Nature Secara etimologi nature diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sifat dasar manusia. Nature juga dapat diartikan sebagai suatu faktor kepribadian tentang kekuatan biologis yang mengatur perkembangan manusia. Nature dapat diartikan sebagai faktor kepribadian yang terkembang secara alami dan dipengaruhi oleh genetic. Dalam kajian gender, nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis. Dinyatakan sebagai teori nature karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara alami.

b. Nurture Secara etimologi nurture berarti kegiatan perawatan atau pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Nurture dapat diartikan sebagai suatu faktor kepribadian tentang kekuatan lingkungan yang mengatur perkembangan manusia. Nurture dapat berupa lingkungan keluarga, masyarakat bahkan faktor ekonomi dan budaya. Dalam kajian gender, nurture sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor budaya. Dinyatakan sebagai teori nurture karena faktor-faktor social dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat terulang secara turun temurun. (Lippa, 2005)

Ketidakadilan dan ketidaksetaraangender dapat terjadi dalam beberapa bentuk atau manifestasi, yakni:
a. Stereotip: menempatkan wanita sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu dilindungi, tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil keputusan, dan lain-lain;
b. Subordinasi: akibat bentuk stereotipi menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki, tidak boleh mengambil keputusan dibandingkan laki-laki, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan, dan lain-lain;
c. Marginalisasi: terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam berbagai hal, yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lainlain.
d. Beban Majemuk: perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-laki, dan lebih lama waktu kerjanya, misalnya fungsi reproduktif dan peran sebagai pengelola rumah tangga, termasuk bekerja di luar rumah.
e. Kekerasan Berbasis Gender: perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual atau psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan bisa berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi diranah publik, tempat kerja, atau dalam kehidupan rumah tangga.

Friday, September 16, 2016

Disiplin Kerja

Sinungan (2005) disiplin adalah sikap kejiwaan dari seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti/mematuhi segala aturan/keputusan yang telah ditetapkan.

Simamora (2000) disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin merupakan bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesanggupan tim kerja dalam suatu organisasi.

Nitisemo (1996) bahwa kedisiplinan lebih tepat kalau diartikan suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak.

Hasibuan (2004) berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Menurut Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan dapat diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Terdapat beberapa tipe disiplin yang dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam pembinaan disiplin karyawan dalam organisasi (Martoyo, 2000) antara lain:
  1. disiplin preventif, yaitu kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendorong para karyawan agar menaati berbagai standar dan aturan perusahaan, sehingga dapat mencegah pengelewengan atau pelanggaran.
  2. disiplin korektif, yaitu kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang telah terjadi terhadap aturan-aturan, dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran yang lebih lanjut.

Newstrom dalam Asmiarsih (2006) menyatakan bahwa disiplin mempunyai 3 (tiga) macam bentuk, yaitu :
  1. Disiplin Preventif. Disiplin preventif adalah tindakan SDM agar terdorong untuk menaati standar atau peraturan. Tujuan pokoknya adalah mendorong SDM agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan atau pemaksaan, yang dapat mematikan prakarsa dan kreativitas serta partisipasi SDM.
  2. Disiplin Korektif. Disiplin korektif adalah tindakan dilakukan setelah terjadi pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksud untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut. Tindakan itu biasanya berupa hukuman tertentu yang biasa disebut sebagai tindakan disipliner, antara lain berupa peringatan, skors, pemecatan.
  3. Disiplin Progresif. Disiplin progresif adalah tindakan disipliner berulang kali berupa hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan perilaku jika dilihat dari definisi Lewin (dalam Helmi, 1996) adalah interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional.
  1. Faktor Kepribadian. Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi norma yang diajarkan atau ditanamkan orangtua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang dan sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku.
  2. Faktor lingkungan. Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar terus menerus. Proses dalam pembelajaran agar dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsistensi, adil, bersikap positif, dan terbuka. Konsistensi adalah memperlakukan aturan secara tepat dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang dipakai telah dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut.Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membedabedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan dibuktikan lebih dahulu. Selama fakta dan bukti belum ditemukan, tidak ada alasan bagi pemimpin untuk menerapkan tindakan disiplin.
Menurut Rivai (2004) terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja, yaitu:
  1. disiplin retributif (retributive discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah.
  2. disiplin korektif (corrective discipline),yaitu berusaha membantu karyawan mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat.
  3. perspektif hak-hak individu (individual rights perspective), yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
  4. perspektif utilitarian (utilitarian perspective) yaitu berfokuspada penggunaan disiplin hanya pada konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Menurut Helmi (1996) disiplin kerja dapat dibagi menjadi dua, yaitu disiplin diri dan disiplin kelompok.
1. Disiplin diri
Disiplin diri merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai-nilai luhur yang ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur diri sendiri untuk kepentingan organisasi. Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menunjang disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru ataupun masyarakat, merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya disiplin diri.

2. Disiplin kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individu semata. Selain disiplin diri masih dibutuhkan disiplin kelompok. Hal ini sangat didasarkan atas pandangan bahwa di dalam kelompok kerja terdapat standar ukuran prestasi yang telah ditentukan. Hal ini berarti setiap karyawan berusaha semaksimal mungkin memenuhi standar prestasi tersebut. Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika masing-masing anggota kelompok dapat memberikan andil sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Prinsip-prinsip pendisiplinan yang dikemukakan Ranupandojo dalam Asmiarsih (2006) adalah :
a. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi
Pendisiplinan seharusnya dilakukan dengan memberikan teguran kepada karyawan. Teguran jangan dilakukan di hadapan orang banyak. Karena dapat menyebabkan karyawan yang ditegur akan merasa malu dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa dendam yang dapat merugikan organisasi.

b. Pendisiplinan harus bersifat membangun.
Selain memberikan teguran dan menunjukkan kesalahan yang dilakukan karyawan, harus disertai dengan saran tentang bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.

c. Pendisiplinan harus dilakukan sacara langsung dengan segera.
Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa karyawan telah melakukan kesalahan. Jangan membiarkan masalah menjadi kadaluarsa sehingga terlupakan oleh karyawan yang bersangkutan

d. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.
Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secara adil tanpa pilih kasih. Siapapun yang telah melakukan kesalahan harus mendapat tindakan pendisiplinan secara adil tanpa membeda-bedakan.

e. Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu karyawan absen
Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang bersangkutan secara pribadi agar ia tahu telah melakukan kesalahan. Karena akan percuma pendisiplinan yang dilakukan tanpa adanya pihak yang bersangkutan.

f. Setelah pendisiplinan sikap dari pimpinan haruslah wajar kembali.
Sikap wajar hendaknya dilakukan pimpinan terhadap karyawan yang telah melakukan kesalahan tersebut. Dengan demikian, proses kerja dapat lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap.

Menurut Hasibuan (2005), pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi, di antaranya :
1. Tujuan dan kemampuan
Tujuan dan kemampuan ini mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan karyawan rendah. Disinilah letak pentingnya axas the right man in the right place and the right man in the right job.

2. Teladan pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinanan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin. Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik agar para bawahan pun mempunyai disiplin yang baik pula

3. Balas Jasa
Balas jasa atau gaji, kesejahteraan ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan. Jika kecintaan karyawan semakin tinggi terhadap pekerjaan kedisiplinan akan semakin baik. Untuk mewujudkan kedisiplinan karyawan yang baik perusahaan harus memberikan balas jasa yang relatif besar. Kedisiplinan karyawan tidak mungkin baik apabila balas jaasa yang mereka terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga. Jadi, balas jasa barperan penting untuk menciptakan kedisiplinan karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil kedisplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik.

4. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama ddengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar kebijakan dalam pemberian balas jasa atau hukuman akan tercipta kedisiplinan yang baik. Manajer yang baik dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap semua karyawan. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula.

5. Waskat (pengawasan melekat)
Waskat adalah tindakan nyata paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengatasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya.

6. Sanksi hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan. Berat atau ringan sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan.

7. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan, pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk memberikan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Dengan demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan perusahaan.

8. Hubungan kemanusiaan
Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi baik diantara semua karyawan. Kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik.

Konformitas

Baron & Byrne (2002) mendefinisikan konformitas sebagai suatu perubahan sikap dan tingkah dari seorang individu akibat adanya pengaruh sosial agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Santrock (2007) menambahkan bahwa konformitas terjadi saat individu mengadopsi sikap dan tingkah laku orang lain karena merasa adanya desakkan oleh orang lain yang dirasakan oleh individu secara nyata atau hanya bayangan saja, dan desakan ini cenderung sangat kuat selama masa remaja.

Myers (2012), merupakan suatu perubahan perilaku serta kepercayaan atau belief yang disebabkan oleh adanya tekanan kelompok yang dirasakan secara nyata atau hanya sebagai suatu imajinasi dari individu tersebut.

Ada dua jenis konformitas (Sarwono, 2001):
  1. Menurut (compliance) Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Misalnya, turis asing memakai selendang dipinggangnya agar dapat masuk ke pura di Bali, menyantap makanan yang disuguhkan nyonya rumah walaupun tidak suka, memeluk cium rekan arab walaupun merasa risih. Kalau perilaku menurut ini adalah terhadap suatu perintah, namanya adalah ketaatan (obedience), misalnya anggota tentara yang menembak musuh atas perintah komandannya, dan mahasiswa baru memakai baju compang camping dalam acara perpeloncoaan atas perintah seniornya.
  2. Penerimaan (accept) Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan social. Misalnya, berganti agama sesuai dengan keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau Negara dimana ia ditugaskan atau tinggal, memenuhi ajakan teman-teman untuk membolos.
Berikut adalah faktor-faktor yang tampak paling penting mempengaruhi konformitas (Baron dan Byrne, 2005):
1. Kohesivitas.
Dapat didefenisikan bahwa kohesivitas (cohesiveness) adalah tingkat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika individu memiliki ketertarikan yang besar terhadap suatu kelompok maka ia memiliki kohesivitas tinggi. Tingginya rasa suka dan kagum kepada kelompok orang-orang tertentu akan menimbulkan tekanan untuk melakukan konformitas semakin kuat. Sebagai contoh saat kita berada dalam sebuah pertunjukan musik, ada sekelompok anak muda yang berdandan nyentrik dengan rambut mohawk dan tattoo di tubuhnya, memakai tindik dilidah, jacket berbahan Levi’s dengan tempelan-tempelan emblem, menarik perhatian kita dan menganggap bahwa dandanannya keren, orang-orang yang berpenampilan seperti itu ternyata salah satu band pengisi dalam acara tersebut maka kita tertarik untuk menjadi bagian dari kelompok itu. Salah satu cara untuk diterima oleh orang-orang tersebut adalah dengan menjadi seperti mereka dalam berbagai hal. Begitupun sebaliknya, ketika kohesivitas rendah tekanan terhadap konformitas juga rendah. Misalnya, buat apa kita mengubah cara berpakaian dan bertingkah laku untuk menjadi sama dengan orang-orang yang tidak kita sukai atau kagumi. Sehingga derajat ketertarikan seseorang terhadap suatu kelompok tertentu merupakan suatu penentu yang penting mengenai sejauh mana kita akan menuruti bentuk-bentuk tekanan social.

2. Ukuran Kelompok.
Semakin banyak anggota yang tergabung dalam kelompok akan menambah kuat seseorang untuk melakukan konformitas. Dalam buku psikologi sosial Baron dan Byrne (2005)dijelaskan bahwa dari penelitian terkini Bond dan Smith menemukan konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota tambahan atau lebih. Jadi jelas bahwa semakin besar kelompok tersebut maka semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita lakukan.

3. Norma Sosial Deskriptif Dan Norma Sosial Injungtif.
Norma social dalam masyarakat tidak hanya terbagi atas sifatnya yakni formal dan informal saja, tetapi ada perbedaan penting lainnya yaitu antara norma deskriptif /himbauan (descriptive norms) dan norma injungtif/perintah (injunctive norms). Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut. Sebaliknya, norma injungtif menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu. Pada situasi tertentu dimana tingkah laku anti social (tingkah laku yang tidak diterima oleh suatu kelompok atau masyarakat tertentu) cenderung muncul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal itu disebabkan karena dua hal. Pertama, norma semacam itu cenderung mengalihkan perhatian dari bagaimana orang-orang bertindak pada suatu situasi tertentu (misalnya, membuang sampah sembarangan) kepada bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku (misalnya, membuang sampah pada tempatnya). Kedua, norma semacam itu dapat mengaktifkan motif social untuk melakukan hal yang benar dalam situasi tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan.

Motif yang mendasari mengapa seseorang selalu ingin melakukan konformitas adalah sebagai berikut (Baron dan Byrne, 2005):
  1. Pengaruh sosial normatif (normative social influence) adalah pengaruh social yang meliputi perubahan tingkah laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Kita merasa senang ketika mendapat pujian dan disukai oleh orang lain karena bertindak sesuai keinginan mereka. Rasa takut akan penolakan karena bisa berdampak pada sanksi ejekan dan cacian dari orang terdekat lalu keinginan kita untuk disenangi dan diterima oleh orang lain akan meningkatkan konformitas kita.
  2. Pengaruh sosial informasional (Informational social influence) adalah kecenderungan kita untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai informasi dunia sosial. Dorongan semakin kuat untuk melakukan konformitas mana kala kita selalu ingin tampak benar didepan orang lain, namun hal ini terutama terjadi pada saat kita merasa tidak yakin mengenai mana yang benar atau tepat dalam situasi tertentu.
  3. Konsekuensi kognetif dari mengikuti kelompok adalah mengubah persepsi pada situasi tertentu sehingga mengikuti persepsi kelompok dan menganggap bahwa ia salah dan anggota kelompok yang lain benar. Dalam kondisi ini ia menilai bahwa konformitas tampak sungguh-sungguh dapat dibenarkan